MENEKAN LAJU INFLASI PERNIKAHAN DINI
Oleh : Indra Trisnajaya
(PKB Ahli Pertama Perwakilan BKKBN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)
Saat ini isu pernikahan dini sedang menghangat dan menyita perhatian publik. Bahkan kasus ini telah menjadi perhatian khusus pemerintah pusat dan juga pemerintah Provinsi Bangka Belitung. Isu ini sangat layak menjadi atensi serius pemerintah. Mengapa? Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Indonesia saat ini menempati urutan ke dua di kawasan ASEAN sebagai negara dengan angka pernikahan dini tertinggi setelah Kamboja. Laporan tersebut menyatakan angka perkawinan usia anak atau di bawah 18 tahun di Indonesia masih tinggi, sekitar 23 persen. Dengan angka kejadian atau prevalensi pernikahan anak lebih banyak terjadi di pedesaan dengan angka 27,11 persen, dibandingkan di perkotaan sebesar 17,09 persen. Data lain menyebutkan pada tahun 2016 sebanyak 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10-14 tahun sudah menikah terutama terjadi di pedesaan sebesar 0,03 persen. Selain itu, usia kehamilan umur remaja yakni dari usia 15-19 tahun berada di kisaran 1,97 persen. Rilis data terbaru UNICEF di tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan ke tujuh dilihat dari jumlah perkawinan anak. Data ini jelas menggambarkan bahwa saat ini Indonesia masuk kategori darurat pernikahan anak.
Pemerintah saat ini sebenarnya sudah melakukan tindakan terkait masalah ini melalui berbagai instansi seperti BKKBN, KEMENKES, KEMENAG, dll. Namun sampai saat ini, upaya yang dilakukan pemerintah belum maksimal menekan laju pernikahan dini. Sebenarnya kondisi biologis menghendaki pernikahan sebaiknya dilakukan pada usia 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi laki-laki. Karena pada usia ini organ reproduksi sudah mencapai kematangan dan reproduktif. Karenanya menikah sebelum usia ideal mempunyai resiko tinggi peningkatan AKI (Angka Kematian Ibu) dan pada kasus tertentu menyebabkan terjadinya BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah). Data SUPAS 2015 menyebutkan AKI di Indonesia berada di angka 305/100.000 kelahiran hidup serta Angka Kematian Bayi di kisaran 23/1000 kelahiran hidup. Bandingkan dengan target MDGs yang menghendaki 102/100.000. Sedangkan 32,5% kematian ibu di Indonesia disebabkan karena usianya yang terlalu muda. Selain itu beberapa penelitian kesehatan menyebutkan bahwa belum matangnya sel-sel leher rahim pada wanita muda menyebabkan mereka lebih rawan terkena infeksi ketika melakukan hubungan intim karena organ reproduksi wanita berusia 12-20 tahun sedang aktif berkembang. Bilamana pada masa ini terjadi kontak seksual, sel kemudian dapat tumbuh secara abnormal dan menjadi awal mula munculnya penyakit kanker rahim.
Di balik pernikahan dini ada persoalan psikologis yang harus menjadi perhatian, yakni mengenai psikis dan mental dari kedua pasangan yang menikah, terutama bagi perempuan. Menikah sejatinya adalah siap menjadi orang tua sehingga berkaitan dengan kesiapan organ reproduksi. Dalam berumah tangga, menjaga keharmonisannya bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena memerlukan kedewasaan berpikir dan bertindak di setiap guncangan yang muncul, baik guncangan akibat ekonomi, masalah internal maupun eksternal. Ketika pernikahan terjadi di masa remaja – yang secara mental masih labil – besar kemungkinan akan berakhir dengan perceraian, bahkan tidak menutup kemungkinan menyumbang tingginya kasus KDRT. Hal ini ditunjukkan dengan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2015, kasus KDRT yang mendominasi kaum perempuan terjadi di 31 provinsi dengan jumlah mencapai 69%. Kekerasan tersebut umumnya dialami kelompok usia 0-17 tahun dengan persentase sebanyak 30%.
Upaya yang dilakukan pemerintah melalui promosi Pendewasaan Usia Perkawinan ternyata belum mampu menekan laju inflasi pernikahan dini. Terbukti dari data yang dirilis menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun dan belum adanya penurunan yang signifikan dari pernikahan anak. Untuk provinsi Bangka Belitung sendiri, fenomena pernikahan anak ini sebenarnya bukan masalah baru. Di daerah-daerah tertentu bahkan sudah menjadi semacam “budaya”. Perkawinan anak tidak dipandang sebagai hal yang harus dikhawatirkan apalagi dicegah. Data SUSENAS tahun 2013 melaporkan pernikahan usia 15 tahun di Babel sebesar 6,83% dan usia 16-18 tahun mencapai 33,11%. Persentase terbesar perkawinan anak di Babel terjadi di wilayah pedesaan yaitu 9,53% untuk usia 15 tahun (perkotaan sebesar 4%) dan 39,04% untuk usia 16-18 tahun (perkotaan sebesar 26,9%).
Penulis mencatat ada beberapa hal yang menyebabkan pernikahan anak menjadi hal yang sulit untuk ditekan. Hal pertama adalah rendahnya tingkat pendidikan sehingga menyebabkan kurangnya akses informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi. Hal ini secara otomatis menyebabkan ketidaktahuan mengenai dampak dari pernikahan usia anak. Data SUSENAS 2014 menyatakan bahwa 75% wanita yang menikah di usia 15-19 tahun tinggal di desa. Dan 80% dari mereka hanya lulus SD. Karenanya pemerataan akses pendidikan sangat penting mengingat hal ini berpengaruh dalam upaya menekan pernikahan anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka perkawinan anak semakin bisa dicegah.
Hal kedua adalah budaya masyarakat yang cenderung permisif dengan nikah muda. Ada beberapa wilayah tertentu khususnya di Bangka Belitung yang memberikan stigma negatif kepada wanita yang tidak segera cepat menikah. Wanita yang tidak segera menikah akan dilabeli dengan “tidak laku-laku”. Karenanya dorongan untuk menikah dini tentu lebih tinggi, sehingga berpengaruh terhadap naiknya angka kawin muda di Babel. Selain itu budaya “Kawin Massal” yang ada di wilayah ini juga turut mempunyai andil karena sulit untuk dihilangkan. Bahkan sudah menjadi ikon tersendiri. Kiranya perlu adanya aturan yang menghendaki pasangan yang hendak menjadi peserta nikah massal agar diseleksi supaya sesuai dengan usia nikah ideal, yaitu 25 tahun bagi laki-laki dan 21 tahun bagi wanita. Pemerintah Daerah bisa bekerja sama dengan BKKBN dalam mempromosikan PUP (Pendewasaan Usia Perkawinan) melalui budaya “Kawin Massal”. Tentu momen ini akan lebih efektif jika dilakukan promosi dan sosialisasi, karena biasanya peristiwa ini dihadiri oleh khalayak ramai, bahkan bisa menjadi promosi wisata bagi pemerintah daerah. Di satu sisi pemda mendapat promosi wisata budaya dan di sisi lain promosi PUP bisa lebih efektif menjangkau masyarakat khususnya para kawula muda.
Ternyata faktor ekonomi juga turut menyumbang geliat nikah muda. Ada suatu pemikiran dari beberapa orang tua yang menghendaki anaknya agar cepat-cepat menikah. Orang tua ini merasa sudah keberatan untuk menanggung kebutuhan anaknya, terutama jika anaknya adalah perempuan. Jadi, menikah adalah hal yang solutif sebagai jalan keluarnya. Padahal belum tentu hal tersebut bisa menyelesaikan masalah. Malah terkadang bisa menjadi beban tambahan bagi orang tua. Alih-alih bisa tenang jika anaknya telah menikah, malah ternyata menimbulkan masalah baru. Ketidakmampuan pasangan muda dalam mencukupi kebutuhan ekonomi mengakibatkan mereka bertumpu pada orang tua masing-masing. Karenanya sasaran sosialisasi dan informasi tidak hanya menjangkau para remaja, tetapi juga kepada para orang tua. Karena tidak adanya sekolah untuk menjadi orang tua, maka pemerintah harus menyediakan sarana untuk edukasi dan deseminasi informasi mengenai parenting, pernikahan dini, dll sampai ke tingkat desa.
Selain itu kemajuan teknologi sangat berpengaruh dalam kasus ini. Selain bermanfaat, teknologi terkadang menyediakan informasi yang sesat. Melalui gadget, orang-orang dengan mudah bisa mengakses apa saja. Ketidakpedulian orang tua mengakibatkan anak mendapatkan informasi dari internet. Tanpa dampingan orang tua, anak-anak bisa mengakses informasi yang salah, bahkan mengarah ke pornografi. Mereka dengan bebas mengakses konten porno yang seharusnya tidak mereka konsumsi. Akibatnya adalah pola pergaulan menjadi liar dan tidak terkendali. Remaja yang selalu penasaran dan ingin mencoba akhirnya terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan seks bebas. Dan bisa ditebak, sejak kemunculan Teknologi Informasi yang pesat kasus hamil di luar nikah bagi remaja semakin tinggi. Hal ini merupakan penyumbang angka terbesar dari pernikahan anak saat ini. Karena sudah hamil, orang tua terpaksa menikahkan anaknya. Hal ini bisa menambah masalah lain karena sebagian besar perkawinan anak berakhir dengan perceraian. Data BPS tahun 2015 menyebutkan 50% perkawinan anak akan bercerai setelah 1 tahun menikah. Oleh karena itu orang tua memang dituntut lebih protektif dalam menyikapi perkembangan teknologi. Ini sangat penting, khususnya untuk mengambil manfaat teknologi informasi serta menciptakan perlindungan bagi anak terhadap berbagai bahaya yang juga mengintai dari kemajuan teknologi digital saat ini.
Ada satu fenomena menarik dalam hal ini bahwa perceraian akibat pernikahan dini terjadi karena keinginan anak tersebut agar bebas dari aturan orang tua. Seperti yang diungkapkan Gubernur Bangka Belitung dalam Seminar Kependudukan tanggal 26 Oktober 2017 lalu. Para remaja ini ingin menjadi janda agar bisa hidup bebas tanpa intervensi dari orang tua mereka. Mereka bebas bepergian kemana saja, dengan siapa saja dan bebas menentukan keinginan. Tentu ini adalah suatu hal yang miris. Perkawinan hanya sebagai cara agar nantinya bisa cerai dan hidup bebas. Karenanya pemerintah daerah berencana membuat aturan mengenai usia perkawinan dan mengadakan penataran untuk calon pengantin dan mendapatkan sertifikat siap menikah. Untuk mendapatkan sertifikat calon pengantin akan diberikan nasihat pernikahan selama 18 jam, yang dimulai dari nasehat pernikahan pada jenjang desa hingga ke kabupaten. Bagi yang tidak memiliki sertifikat ini tidak bisa melangsungkan pernikahan. Jika ini benar-benar terlaksana, tentu akan sangat memberikan dampak yang positif terhadap kualitas perkawinan. Calon pengantin akan memahami hakikat pernikahan yang sebenarnya. Bukan sebagai ajang untuk membuktikan bahwa “saya tidak jomblo lagi” atau malah menjadi cara untuk menjadi oknum janda yang “bergerilya”.
Karenanya untuk menekan laju pernikahan dini sebenarnya perlu dibuat aturan formal. Undang-undang no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perlu segera direvisi dan harus sesuai dengan konteks problematika saat ini. Namun juga harus selaras dengan norma-norma agama yang mengatur masalah perkawinan. Batas usia minimal perkawinan untuk perempuan yaitu 16 tahun perlu dikaji lagi baik dari aspek kesehatan, sosial, agama dengan mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Penulis memandang perlu adanya upaya menaikkan batas usia minimal menikah 16 tahun bagi perempuan. Berkaca dari data dan fakta yang ada saat ini maka sudah saatnya pemerintah lebih berani membuat aturan yang tegas mengenai pernikahan dan pencegahan nikah dini jika memang perkawinan anak adalah masalah yang serius. Bukan tidak mungkin jika 5 atau 10 tahun lagi Indonesia menempati urutan pertama kasus nikah dini di dunia jika tidak ada upaya serius dan tegas menekan laju inflasi pernikahan dini.